Jumat, 13 Januari 2012

SASENIBUD JOMBANG

KISI-KISI SASENIBUD JOMBANG
Jombang terkenal sebagai kota yang egaliter, sehingga masyarakatnyapun sangat terbuka dalam berinteraksi dan sangat bisa menerima perubahan. Hal ini juga buah pengaruh dari letak geografis kota Jombang yang terletak pada persimpangan budaya Arek, budaya Panaragan, budaya Mataraman, budaya Maduran maupun budaya Pesisiran. Karena pengaruh tersebut, maka kesenian yang berkembang di Jombang juga sangat beragam. Dengan karekter masyarakat yang egaliter itulah pada akhirnya membuahkan kristal-kristal kesenian yang lebih berkarakter. Misalnya dari budaya arek, lahirlah kesenian lerok yang kemudian berkembang menjadi seni besutan dan bermetafosis menjadi ludruk. Dari budaya Maduran juga muncul kesenian Sandur, meski kesenian ini tidak sama dengan kesenian Sandur dari daerah lain. Dari budaya Mataram juga mengkristalkan kesenian diantaranya, wayang kulit. Wayang kulit yang berkembang di Jombang juga ada dua gaya pekelirannya, gaya Kulonan dan gaya Jawa Timuran (cek-dong). Budaya Panaragunpun juga demikian, ada kesenian kuda lumping, reog, bantengan dll.
Di era globalisasi informasi sekarang ini kami dari DISPORABUPAR sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Kabupaten Jombang, berusaha memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya pecinta, pemerhati dan penikmat seni Jombangan. Tentu informasi yang kami sampaikan masih sangat terbatas baik dari kwalitas dan kwantitasnya. Tetapi kami berharap dengan informasi awal ini, masyarakat pemerhati kesenian Jombang bisa sedikit mendapatkan gambaran tentang peta kesenian di Jombang, sehingga bisa membantu kami dalam menginfentarisasi dan menumbuh kembangkan kesenian di Jombang.
Sebagai gambaran awal kami mencoba untuk mendekotomi (memisah) kesenian Jombang menjadi tiga varian utama, yaitu seni musik, seni media rekam dan seni pertujukkan. Semoga blok ini bisa sedikit memberi cahaya bagi kita semua, insan-insan pecintan kesenian Jombang.

WAYANG KULIT JOMBANGAN


Berawal dari ketidak sengajaan Sareh kecil yang pada waktu itu masih duduk di bangku Sekolah dasar kelas empat, melihat sebuah pementasan wayang amen. Kebetulan yang menjadi dalang pada waktu itu adalah Ki Suwadi dari Grobogan Mojowarno. Setelah melihat pertunjukan wayang itu dia merasa tertarik untuk bisa mendalang, sampai-sampai dia mengikuti kemanapun Ki Suwadi ngamen. Saking getolnya dia mengikuti Ki Suwadi amen, sampai-sampai dia bolos sekolah sampai dua minggu. Bahkan saking cintanya beliau punya cita-cita nanti setelah lulus Sekolah dasar pria kelahiran 7 Februari 1956 ini ingin ngangsuh kaweruh sebagai dalang kepada Ki Suwadi. Maka pada tahun 1970, sareh kecil dengan disertai oleh kakek tercinta menemui Ki Suwadi untuk mendaftar sebagai cantrik. Tapi menurut Ki Suwadi Pak Sareh begitu dia biasa dipanggil, belum cukup umur untuk ikut nyantrik. Maka sebagai pelampiasan atas ditolaknya dia mendaftar sebagai cantrik, Sareh remaja pergi merantau ke Surabaya untuk bekerja. Satu tahun kemudian dia kembali menemui Ki Suwadi untuk menjadi cantrik. Tapi kali ini rupanya tekadnya sudah bulat, sehingga meski belum tentu diterima dia sudah membawa bekal dan pakaian ganti. Dia bertekat kalau kali ini tetap ditolak dia tidak akan mau pulang. Mungkin karena kasihan akhirnya Ki Suwadi menerima P Sareh sebagai cantrik. Metode yang digunakan Ki Suwadi untuk mengajari siswanya tergolong unik, karena beliau mengajari siswanya takkala beliau sedang ngamen, jadi sebelum dia ngamen dimalam hari, siangnya siswanya diberi kesempatan untuk ndalang sekitar dua sampai tiga jam. Materi yang harus diterapkan adalah siswanya harus meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi pada malam sebelumnya. Jadi menurut kakek tiga cucu ini, apabila ada siswa yang ngantuk atau tertidur pada waktu Ki Suwadi ndalang, maka dia akan ketinggalan, sehingga besuknya pasti tidak bisa meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi tadi malam. Dan setelah tiga setengah tahun barulah Pak Sareh mendapat kesempatan untuk ndalang secara mandiri, meski kapasitasnya sama yaitu dalam rangka amen.Baru pada tahun 1976, P Sareh mendapat job pertamanya di rumah seorang Kamituwo, desa Pulurejo, Ngoro dengan ongkos enam ribu rupiah. Ada cerita menarik manakala Pak Sareh harus memilih menjadi dalang wayang kulit gaya Jawa Timuran, itu tidak lebih karena pada waktu itu wayang gaya Jawa Timuran lebih sering ditanggap orang karena harganya lebih murah daripada gaya Jawa Tengahan, alasannya bisa diterima akal karena wayang kulit gaya Jawa Timuran pengrawitnya lebih sedikit. Menurut beliau kalau saja para dalang mau melakukan inovasi-inovasi dalam penyajiannya, maka perkembangan pedalangan khususnya gaya Jawa Timuran akan lebih baik lagi, permasalahannya sekarang ini banyak dalang yang enggan melakukan itu, mereka sudah merasa cukup puas dengan gayanya sendiri. Dan hal lain yang perlu dilakukan adalah semestinya para dalang yang ada di Jombang ini, sering melakukan silahturahmi dengan tujuan saling berbagi ilmu dan pendapat, sehingga saat ini banyak dalang yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, maka tidak heran kalau orang yang mengapresiasi atau nanggap juga enggan karena tidak ada kemajuan yang berarti. Bahkan menurut beliau, unsur entertainment harusnya sudah menjadi kebutuhan saat ini, karena era global seperti sekarang ini, mustahil kesenian tradisi akan masuk di hati penikmat seni kalau tidak ada unsur hiburan yang lagi digemari saat ini, campursari misalnya. Tapi seorang dalang harus juga bisa memainkan perannya sebagai seorang sutradara, artinya jangan sampai kesenian tambahan atau hiburan tersebut justru mematikan seni wayang itu sendiri. Beliau juga punya harapan kedepan pemerintah daerah, memberi ruang yang cukup untuk para dalang mengekspresikan kemampuannya melalui pementasan secara periodik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar