WAYANG KULIT JOMBANGAN
Berawal
dari ketidak sengajaan Sareh kecil yang pada waktu itu masih duduk di
bangku Sekolah dasar kelas empat, melihat sebuah pementasan wayang amen.
Kebetulan yang menjadi dalang pada waktu itu adalah Ki Suwadi dari
Grobogan Mojowarno. Setelah melihat pertunjukan wayang itu dia merasa
tertarik untuk bisa mendalang, sampai-sampai dia mengikuti kemanapun Ki
Suwadi ngamen. Saking getolnya dia mengikuti Ki Suwadi amen,
sampai-sampai dia bolos sekolah sampai dua minggu. Bahkan saking
cintanya beliau punya cita-cita nanti setelah lulus Sekolah dasar pria
kelahiran 7 Februari 1956 ini ingin ngangsuh kaweruh sebagai dalang
kepada Ki Suwadi. Maka pada tahun 1970, sareh kecil dengan disertai oleh
kakek tercinta menemui Ki Suwadi untuk mendaftar sebagai cantrik. Tapi
menurut Ki Suwadi Pak Sareh begitu dia biasa dipanggil, belum cukup umur
untuk ikut nyantrik. Maka sebagai pelampiasan atas ditolaknya dia
mendaftar sebagai cantrik, Sareh remaja pergi merantau ke Surabaya untuk
bekerja. Satu tahun kemudian dia kembali menemui Ki Suwadi untuk
menjadi cantrik. Tapi kali ini rupanya tekadnya sudah bulat, sehingga
meski belum tentu diterima dia sudah membawa bekal dan pakaian ganti.
Dia bertekat kalau kali ini tetap ditolak dia tidak akan mau pulang.
Mungkin karena kasihan akhirnya Ki Suwadi menerima P Sareh sebagai
cantrik. Metode yang digunakan Ki Suwadi untuk mengajari siswanya
tergolong unik, karena beliau mengajari siswanya takkala beliau sedang
ngamen, jadi sebelum dia ngamen dimalam hari, siangnya siswanya diberi
kesempatan untuk ndalang sekitar dua sampai tiga jam. Materi yang harus
diterapkan adalah siswanya harus meniru apa yang dilakukan Ki Suwadi
pada malam sebelumnya. Jadi menurut kakek tiga cucu ini, apabila ada
siswa yang ngantuk atau tertidur pada waktu Ki Suwadi ndalang, maka dia
akan ketinggalan, sehingga besuknya pasti tidak bisa meniru apa yang
dilakukan Ki Suwadi tadi malam. Dan setelah tiga setengah tahun barulah
Pak Sareh mendapat kesempatan untuk ndalang secara mandiri, meski
kapasitasnya sama yaitu dalam rangka amen.Baru pada tahun 1976, P Sareh
mendapat job pertamanya di rumah seorang Kamituwo, desa Pulurejo, Ngoro
dengan ongkos enam ribu rupiah. Ada cerita menarik manakala Pak Sareh
harus memilih menjadi dalang wayang kulit gaya Jawa Timuran, itu tidak
lebih karena pada waktu itu wayang gaya Jawa Timuran lebih sering
ditanggap orang karena harganya lebih murah daripada gaya Jawa Tengahan,
alasannya bisa diterima akal karena wayang kulit gaya Jawa Timuran
pengrawitnya lebih sedikit. Menurut beliau kalau saja para dalang mau
melakukan inovasi-inovasi dalam penyajiannya, maka perkembangan
pedalangan khususnya gaya Jawa Timuran akan lebih baik lagi,
permasalahannya sekarang ini banyak dalang yang enggan melakukan itu,
mereka sudah merasa cukup puas dengan gayanya sendiri. Dan hal lain yang
perlu dilakukan adalah semestinya para dalang yang ada di Jombang ini,
sering melakukan silahturahmi dengan tujuan saling berbagi ilmu dan
pendapat, sehingga saat ini banyak dalang yang tidak bisa mengikuti
perkembangan jaman, maka tidak heran kalau orang yang mengapresiasi atau
nanggap juga enggan karena tidak ada kemajuan yang berarti. Bahkan
menurut beliau, unsur entertainment harusnya sudah menjadi kebutuhan
saat ini, karena era global
seperti sekarang ini, mustahil kesenian tradisi akan masuk di hati
penikmat seni kalau tidak ada unsur hiburan yang lagi digemari saat ini,
campursari misalnya. Tapi seorang dalang harus juga bisa memainkan
perannya sebagai seorang sutradara, artinya jangan sampai kesenian
tambahan atau hiburan tersebut justru mematikan seni wayang itu sendiri.
Beliau juga punya harapan kedepan pemerintah daerah, memberi ruang yang
cukup untuk para dalang mengekspresikan kemampuannya melalui pementasan
secara periodik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar